Minggu, 04 Maret 2012

Reminder

"Dengan keadaan yang telah dilalui, saya tidak mempunyai hak sedikitpun untuk mengeluh, untuk protes atas apa yang sudah digariskanNya."

Menunggu biasanya itu akan menjadi hal membosankan bagi saya, tapi proses menunggu pengumuman penempatan selama kurang lebih lima bulan kemarin memberikan pelajaran sangat berharga. Untuk mengisi masa menunggu kemarin, saya memilih untuk terjun kembali ke dunia volunteer.

Hoshizora Foundation, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan enam tahun lalu oleh pelajar Indonesia yang sedang menempuh studi di Jepang ini menjadi tempat pertama saya memetik pelajaran. Menurut salah satu pendirinya, organisasi ini muncul sebagai imbas atas keprihatinan mahasiswa Indonesia terhadap akses pendidikan di Indonesia dibanding Jepang. Nah, sekitar akhir tahun lalu mereka sedang mengadakan seleksi penerima beasiswa tahun 2012. Tugas saya adalah mewawancarai adek-adek SD-SMA yang telah lolos persyaratan administrasi.

Ratusan kandidat berkualitas dari berbagai sekolah datang dan wawancara. Mereka yang memiliki akses minim ke informasi ilmu yang sekarang bebas tapi masih terasa mahal baginya. Mereka yang ke sekolah harus menempuh jarak berkilo-kilo dengan berjalan kaki atau bersepeda. Mereka yang menangis karena ingin mengubah kehidupan keluarga. Mereka yang diam saja, bingung, karena mungkin lidah sudah terlalu kelu tergantung beban kehidupan yang berat untuk bocah sekecil itu. Mereka yang menganggap bahwa gula adalah sebuah kemewahan. Mereka yang telah kehilangan atau bahkan dicampakkan orang tuanya. Mereka yang tetap berprestasi meskipun dengan fasilitas ala kadarnya. Mereka yang berani menggantungkan mimpinya di langit berbintang. Mereka yang tak saya sangka dengan tegar bisa berkata "Mungkin saya harus berjalan di atas duri untuk terus menjalani hidup, tetapi saya yakin saya bisa sukses tanpa ayah saya".

Mereka inilah yang membuat sadar betapa sangat beruntungnya saya selalu mendapat fasilitas pendidikan yang terbaik, kasih sayang tidak pernah putus dari orang tua dan saudara, perut pun tidak pernah terlalu kelaparan untuk membuat otak mudah menyerap pelajaran. Mereka inilah yang membuat saya rela menempuh jarak puluhan kilometer jauhnya untuk sekadar mendengarkan cita-cita mereka. Mereka inilah yang membuat saya bersemangat ketika mendengar mimpi-mimpi yang luar biasa. Mereka inilah yaang membuat saya berpikir kembali tentang keeksistensian pemerintah.

Tempat kedua adalah 6th Asean Para Games disingkat 6th APG, event ini adalah semacam Sea Games tetapi untuk athlete difabel, athlete dengan keterbatasan mental dan fisik. Di sini saya bertugas sebagai NPC Assistant, Liaision Officer untuk negara Vietnam khususnya cabang renang yang mempunyai job desk mengurusi segala macam yang berkaitan dengan athlete dan official, mulai dari jadwal rapat, pertandingan, makan, transportasi, laundry, dll, intinya membantu mereka sejak datang sampai pulang kembali ke negaranya.

Dulu, saya sering membayangkan betapa suramnya hidup orang-orang difabel. Tetapi hal itu kemudian runtuh setelah saya selama hampir dua minggu hidup bersama mereka. Fisik mereka memang tidak selengkap dan sesempurna saya tetapi semangat hidup dan kemampuan mereka jauh melebihi saya. Pada awalnya saya ragu, dengan fisik seperti itu bagaimana mereka bertanding, dengan mata buta bagaimana mereka bisa bermain goal ball atau catur, dengan kaki tak ada bagaimana mereka bisa bermain tenis dan berenang. Saya hampir menangis melihat salah satu athlete saya, Hiep, penderita paraplegia, yang bentuk tubuhnya hanya terlihat dari tulang rusuk ke atas sisanya hanya tulang terbungkus kulit, ketika dimasukkan ke air begitu gesit dia berenang. "Subhanallah, iki kuasane Gusti Allah" begitu kata salah satu tim sertifikasi.




Job desk saya yang seharusnya membantu mereka menjadi kurang relevan, merekalah yang sebenarnya menolong membuka mata hati saya. Mereka yang membuat saya berpikir untuk menggerakkan kaki, mengulurkan tangan, membuka mata dan telinga yang masih baik fungsinya ini untuk melakukan hal-hal yang besar yang positif. Di akhir event saya merasa menjadi orang paling beruntung bisa mengenal orang-orang hebat seperti mereka, yang bisa saya bantu tanpa harus tahu agama, status, kewarganegaraan atau bahasa ibu apa yang mereka gunakan. Saya beruntung pernah bercengkrama dengan Hiep, Sa ri, Ms. Thuy, Dhung, Mr. Yakuza, dll, mereka orang-orang yang sepintas lalu dalam hidup tetapi mampu mengubah pandangan saya.

Tulisan ini dibuat sampai suatu saat saya mengeluh, jatuh, sombong, congkak saya akan membaca tulisan ini lagi sebagai pengingat diri ini untuk selalu rendah hati, bersyukur atas semua rizki dan tak berhenti untuk terus berbagi.