Minggu, 07 November 2010

07112010


dibawah langit Jakarta, 12:50am

Aku pernah mengalami, ketika bumi sedikit saja bergoyang, seketika itu manusia bagaikan lalat di atas sampah yang diusir secara tiba-tiba. Semua panik, semua mengingat Tuhan, seakan sadar bahwa Dia pemberi nyawa, Dia pencipta alam semesta yang saat itu sedang murka.

Aku pernah melihat, menyaksikan mayat-mayat ditumpuk begitu saja dipinggir jalan ditutup dengan benda seadanya. Bau anyir darah tercium diantara puing-puing bangunan yang berserakan.

Aku masih mengingat, bagaimana seorang ibu menangis tersedu-sedu menceritakan penyesalannya karena tidak sempat menyelamatkan anaknya ketika bencana terjadi.

Aku masih terharu, saat jarak berkilo-kilo meter jauhnya ditempuh, dan lelah terbayarkan oleh tangis mereka, tangis yang merefleksikan rasa terima kasih yang terdalam karena lidah terlalu kelu untuk mengucapnya, hanya karena sedikit mie instant yang kami bawa.

Hatiku ngilu, ketika tangan-tangan mungil itu mengiba meminta sesuatu kepada pengguna jalan yang lalu-lalang membawa bantuan. Mereka saling berebut ketika ada tangan keluar dari mobil mirip anjing lapar diberi makan.

Dan kini bumi kembali murka, tak banyak yang dapat kulakukan, hanya sedikit bantuan saja dari hasil meminta yang mungkin tak cukup berarti bagi mereka. Segenap doa dari lubuk terdalam agar mereka disana diberi kekuatan dan kesabaran.



*untuk Merapi, cepet sembuh mbah...!!!

Rabu, 07 Juli 2010

My 21st Chance


Jakarta, 05 Juli 2010

-Hari berganti seiring sang bulan yang habis ditelan bumi. Waktu terus berlalu dan ia tak mungkin kembali ke masa lalu.-

Kembali merenungi bahwa setiap detik yang terlalui menjadi kisah tersendiri. Awal yang buruk memang jika melihat apa yang terjadi dalam hidup setahun belakangan ini. Bukan resolusi yang terjadi, tapi malah mirip sebuah kemunduran diri. Bukan untuk menyesali tapi hanya memaknai bahwa mungkin awal pondasi yang pahit akan membuat kokoh bangunan ini.

Ya, bangunan kokoh dengan jati diri, mengingat lagi tulisan yang dibuat persis tahun lalu. Sudah saya katakan disitu, memang berat menjalani hidup berkepala dua karena ibarat bangunan disinilah saya benar-benar ditempa menjadi pondasi utama, mau jadi apa hidup saya kedepannya.

Jikalau memang hidup saya belakangan kurang berarti, setidaknya saya mengerti, intropeksi dan segera memperbaiki diri. Mencoba menjadi lebih dewasa dan bukan hanya dianggap tua, mulai memikirkan esok bukan hanya bicara besok. Semoga.

Setidaknya tulisan ini akan saya baca setahun lagi sebagai pengingat saja bahwa hari ini Allah masih memberi kesempatan untuk hambanya ini, kesempatan ke dua satu. Maka sebait doa yang saya kutip dari twitter tempo hari semoga terwujud ditahun ini, "Doaku hari ini: Tuhan, ijinkan aku melakukan hal besar, karena umur yang Kau berikan terlalu penting jika hanya melakukan yang kecil-kecil".



*amburadul gak jelas, idenya melayang kemana-mana. dibuat terpaksa, sebagai pengingat saja, biar gak lupa sudah diberi kesempatan lagi olehNya untuk memperbaiki diri.

Sabtu, 15 Mei 2010

"Kepribadian Ganda"


Kemarin saya membaca artikel di koran nasional, isinya sangat menggelitik, intinya bahwa sulit menarik pajak dari orang kaya. Menurut Ibu Menteri Keuangan yang cantik, cerdas, dan sedikit galak, pegawai pajak kebanyakan minder bila harus mendatangi kediaman wajib pajak kaya itu. Mereka minder hanya karena satpamnya banyak, rumahnya luas atau anjingnya besar-besar.

Disatu sisi dulu sering saya dengar adanya pungutan-pungutan yang terjadi dalam pengurusan dokumen pembayaran pajak, istilah 'kerennya' uang pelicin. Namanya juga uang pelicin yang tidak memberi ya jalannya jadi tidak licin alias seret. Bahasa lugasnya, "gak ada duit terserah gue mau ngerjain kapan".

Ironi memang jika membandingkan dua kondisi diatas. Pada kondisi pertama digambarkan seolah-olah petugas pajak terlalu lemah, tidak punya power untuk menghadapi wajib pajak. Analoginya mungkin seperti tikus yang bertemu nenek moyangnya kucing alias singa, manut-manut saja. Di kondisi kedua, sekarang petugas pajak gantian yang menjadi singa meskipun hanya anak singa tetapi tetap saja membuat tikus ngeri walau hanya mendengar namanya saja.

Sesuatu yang membuat saya heran, kenapa itu bisa terjadi, disatu sisi mereka tampak bergigi tajam, ganas. Tetapi di sisi yang lain seperti kucing yang akan makan ikan yang sudah disediakan tetapi takut gara-gara piring si anjing diletakkan disebelah pirngnya, malu-malu tapi mau. Bisa dikatakan 'berkepribadian ganda'.

Dalam ilmu psikologi, kepribadian didefinisikan sebagai organisasi-organisasi dinamis dari sistem-sistem psikofisik dalam individu yang turut menentukan cara-caranya yang unik/ khas dalam meyesuaikan diri dengan lingkungannya (Allport, 1971). Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tiap-tiap kepribadian itu unik sehingga sulit untuk mengidentifikasinya. Oleh karena itu yang bisa dipelajari hanyalah struktur kepribadiannya. Struktur kepribadian ini dapat diketahui melalui pemeriksaan sejarah hidup, cita-cita dan persoalan-persoalan yang dihadapi seseorang. Jadi kepribadian merupakan sebuah produk dari proses pembelajaran kehidupan seseorang.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kebanyakan dari aparat pajak adalah output dari sebuah PTK. Tak kurang dari seribu lulusan pertahun PTK ini, ditempatkan dibawah naungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sedangkan lulusan dari universitas lain sepertinya jarang, karena Kemenkeu tidak sering membuka lowongan, baru-baru ini saja 2-3 tahun sekali. Sehingga bisa dikatakan bahwa pegawai DJP berasal dari PTK ini. Lalu adakah yang salah dengan sistem pembelajaran di PTK ini, salah siapa?!





*ditulis dibawah langit Jakarta setelah hujan, ditengah kekecewaan saya terhadap sebuah sistem, yang hari ini membuat saya tertahan disini.... sruuuuttttttttt.....srrooottttttttt.... idung saya meler lagi....!!! ^_^

Jumat, 23 April 2010

Siapa?!



saya kecewa dengan mereka,
yang senang bersuara tanpa langkah nyata

saya kecewa dengan mereka,
kerjanya hanya baca buku tanpa ada amalannya

saya kecewa dengan mereka,
asa tinggi hanya sampai di angan saja

saya kecewa dengan mereka,
yang tahu itu salah tapi hanya diam saja

saya kecewa dengan mereka,
yang malah menghindar dari problema

saya kecewa dengan mereka,
yang justru membiarkan kebobrokan membabi-buta

saya kecewa dengan saya,
yang salah berasumsi dalam berlogika

saya kecewa dengan kita,
kenapa mesti dicipta untuk menjaga?

saya hanya mampu bertanya,
kalau bukan kita lalu siapa?!





*sepertinya memang hanya deadline yang mampu membawa kembali nyampah disini, seperti postingan-postingan sebelumnya,,,hehehehe

Rabu, 10 Maret 2010

Kau dan Hot Cappuccino



Jakarta, 10032010, 8" before mid nite


Bubuk kopi yang kuseduh beradu dengan susu memberikan sensasi yang berbeda malam ini, secangkir hot cappuccino. Kehangatannya mengalahkan dinginnya bulir-bulir hujan yang menyapa lembut bumi Jakarta di luar sana. Berbincang denganmu biasanya memberikan semangat baru yang selalu membuatku bergairah. Tapi kini berbeda, rasa itu tak ada, entah kenapa. Apa mungkin dia menghilang seiring hangatnya kopi yang berpaling menjadi datar? Mungkin saja,,,, Akan kubiarkan rasa itu pergi bila memang sudah waktunya, tapi aku meminta satu hal saja malam ini padamu, bebaskan aku, lepaskan aku dari belenggumu, aku bosan denganmu wahai engkau sang makalah Tipikor....



*nyampah ditengah proses finishing sebuah makalah yang telah melewati deadline.

Jumat, 26 Februari 2010

It's [not] about d Committee



Jurangmangu, 26Feb2010, 10" after midnite.



Seketika orang-orang itu bubar membawa kenangan masing-masing tentang sepotong kisah yang mungkin akan bertumpuk entah di memory sebelah mana. Kumpulan orang yang telah bersama selama berbulan-bulan untuk mewujudkan sebuah tujuan. Orang-orang yang membuatku belajar akan sebuah hal.

Aku sebenarnya bukan orang yang apatis, tetapi kepindahanku satu setengah tahun lalu ke lingkungan ini yang mungkin belum bisa aku terima. Saat itu aku masih dihantui bayang-bayang kehidupanku yang lama, yang menurutku cukup nyaman. Aku pernah mencoba keluar dari zona kesendirian, tapi yang kudapat hanyalah kekecewaan karena aku berekspektasi terlalu tinggi.

Pada akhirnya jiwaku memberontak, dia tidak rela ditipu, dia ingin bersosialisasi, hingga aku mencari kegiatan sejenis yang pernah menorehkan kenangan begitu berharga di kampus biru dulu. Ya, aku berada (lagi) di sekumpulan orang yang berusaha menciptakan kompetisi akuntansi yang bertaraf nasional.

Awalnya, aku masih merasa tidak nyaman dengan orang-orang dan situasi yang terasa asing bagiku. Aku masih saja membandingkannya dengan orang-orang hebat di timku yang dahulu. Bayangkanlah, itu sangat menyiksa, ketika harus memulai kembali lagi dari nol. Menyesuaikan diri dan mencoba memahami alur yang berbeda tentang sebuah cerita.

Akhirnya, aku berada disebuah titik tertentu dan menyadari bahwa hidup ini untuk sekarang dan masa depan, bayang-bayang masa lalu hanya akan membuat kita tenggelam dalam kenangan dan semakin terpuruk. Dengan semangat itulah aku mencoba menghibur diri, membuka mata untuk melihat warna-warni bunga di kebun yang berbeda.

Setiap individu memiliki aroma yang khas, sesuatu yang unik, yang tidak bisa saling ditandingkan. Setiap aroma memancarkan auranya masing-masing, tetapi mereka menyatu hingga setiap orang diluar sana bisa mencium satu wangi yang sama tanpa mendikotomikan darimana asal tiap unsurnya. Kami ingin selalu menampilkan wangi yang terbaik bagi orang diluar sana dan tentunya bagi kami sendiri. Aroma yang lain saling menguatkan ketika ada salah satu wangi yang sedang layu atau bahkan mati, karena kita sebuah keluarga yang (pernah) berada di kebun yang sama. Dan ketahuilah, saat ini aku merasa sangat beruntung pernah menjadi bagian kecil dari mereka, yang mungkin tak mengubah wanginya jikalau tak ada, entahlah.

Biarlah sepenggal kisah ini tersimpan sejenak hingga suatu saat terbuka kembali menjadi sebuah kenangan tak terlupakan, bagaikan mentari yang kembali ke peraduannya tapi tak lupa untuk kembali bersinar. Prove it...!!! I'm already miss this committee....

Sabtu, 30 Januari 2010

Sebuah Catatan



Gatot, akronim ini sepertinya lebih dari cukup untuk menggambarkan ujian kemarin. Gagal total dan memang ancur banget menurut saya. Dari delapan mata kuliah, tidak ada satu pun yang saya yakin bisa mengerjakan, bahkan untuk mata kuliah hapalan sekalipun. Sepertinya otak saya baru saja dicuri sebagian atau terdepresiasi karena usia, tapi saya gak mau menyalahkan otak saya yang ilang, berkurang atau dirampok. Lalu salah siapa?! salah emak gue, salah dosen gue, salah temen gue, atau salah burung bapak kost gue, yang pasti bukan salah mereka semua (ya iyalaaahhhhh....!!!). Beberapa hari setelah ujian kemarin saya sempat pulang ke [jogJA]KARTA, sepanjang perjalanan pulang saya berusaha mengevaluasi diri, sebenarnya apa yang salah dengan saya, karena saya percaya kegagalan ujian saya kemarin merupakan kesalahan saya sendiri, sesuai quotes dari salah seorang tokoh "when you think that the problems are out there, stop thinking, the problem is yourself".

Saya yakin, saya sebenarnya mampu, karena menurut saya soal-soal kemarin itu bobotnya tidak lebih berat dibanding dengan semester sebelumnya, bahkan ada beberapa mata kuliah yang karakteristik dan bobot soalnya lebih mudah dengan materi yang sama seperti semester satu. Lalu apa yang membuat saya merasa tidak bisa menyelesaikan tahapan ujian kemarin. Pertama mungkin karena faktor lingkungan, sependek pengamatan saya, teman-teman saya sekelas tampaknya enjoy-enjoy saja dan lancar dalam mengerjakan ujian mid term kemarin. Memang sih kelas saya temasuk kelas dengan anak-anak yang extraordinary (just little 'extra', but it's make wide space from ordinary), tapi tetap saja hal itu bisa berpengaruh terhadap nilai akhir saya. Ibaratnya, bagaimana mau ngatrol nilai kalau yang nilainya 90% aja ada tiga sampai lima orang. Kedua, ujian kemarin saya benar-benar kehabisan waktu untuk sekadar mengerjakan semua soal, padahal di ujian-ujian sebelumnya saya selau punya extra time untuk mengecek kembali jawaban-jawaban, kali ini boro-boro ngecek, selesai aja kagak. Last but not least, saya rasa beberapa dosen saya sekarang adalah orang perfeksionis, it means that everything must be perfect. Lengkaplah sudah penderitaan saya terjebak dalam suasana yang harusnya membangun tapi justru melumpuhkan karena kesalahan saya sendiri.

Let bygones be bygones, that's over. Just little 'extra', sepertinya itu yang harus saya lakukan agar bisa selamat hingga setengah semester ini, syukur-syukur tak perlu berlari di semester genap. Semoga saja, semua sesuai rencana dan konsentrasi dapat berjalan seiring dengan konsistensi.



*** postingan dikala rembulan malu-malu berlindung dibalik awan, sementara alunan musik klasik terus berdendang mengusik malam menuntut sebuah kejelasan. tambah gak jelas lagi kenapa harus ditambahi footnote, biarlah, toh juga blog-blog gw sendiri yang baca juga gw sendiri. whatever lah.... 'makin geje'... sudahlah... biarkan bintang berkelana di kehidupan malam ibu kota.